Multatuli menulis Max Havelaar dengan tiga sudut pandang. Pada bab pertama sampai dengan bab keempat, juga pada bebepara bagian dalam bab-bab berikutnya, secara acak, Multatuli bercerita dengan sudut pandang orang pertama, lalu berpindah ke sudut pandang orang kedua, kemudian bercerita lagi dengan sudut pandang orang ketiga. Penggunaan sudut pandang orang pertama, terlihat pada kutipan berikut, “Saya selalu melihat, bahwa orang-orang yang melakukan pekerjaan itu, biasanya buruk akhirnya” (Multatuli, 1977:1). Kalimat di atas bukan bagian dari percakapan, tetapi bagian dari paragraf yang digunakan oleh Multatuli untuk menjelaskan mengenai siapa dirinya.
Nama Max Havelaar baru digunakan menjelang bagian akhir bab keempat, pada saat Multatuli menceritakan tokoh utama itu seperti sedang melukiskan orang asing yang sama sekali tidak menjadi bagian dari “saya” sesuai dengan yang dituturkan pada bab-bab sebelumnya, dan bab-bab berikutnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut: “Saya belum cerita apa-apa tentang Max Havelaar dan istrinya, sebab merekalah orang-orang yang keluar dari kereta sesudah residen, dengan anak dan babunya...dia tidak canggung dan tidak ada sikap yang tidak enak…(Multatuli, 1977:47). Dengan gaya bercerita Multatuli tersebut, pembaca tidak berpengalaman bisa tersesat menganggap tokoh tanpa nama yang dituturkan pada bab-bab sebelumnya sebagai tokoh lain dan bukan Max Havelaar sendiri, karena pada paragraf yang sama Multatuli bercerita dengan sudut pandang orang pertama untuk menceritakan tokoh lain yang sebenarnya adalah dirinya.
Keterkaitan kedua tokoh yang dituturkan dengan tiga sudut pandang itu, baru diketahui setelah pada bagian berikutnya, pada paragraf yang sama, Multatuli (1977:47) menulis “…saya hendak mengatakan kepada Anda bahwa nyonya Havelaar tidaklah cantik, tetapi dalam pandangan dan bicaranya ada sesuatu yang manis sekali…” dengan sembarangan, seolah setiap pembaca dapat dianggap akan mudah memahaminya dan bisa memberikan penghargaan atas ketidakdisiplinannya dalam menentukan posisinya sebagai pencerita. Kutipan terakhir di atas menunjukkan bahwa Multatuli menggunakan sudut pandang orang kedua, sebagai upaya untuk melibatkan pembaca di dalam memberikan penilaian. Teknik seperti itu jarang ditemukan dalam penulisan karya sastra. Penulisan dengan melibat pembaca sangat dianjurkan sebagai upaya memikat perhatian para pembaca artikel atau esai.
Multatuli bukan satu-satunya penulis novel yang menggunakan lebih dari satu sudut pandang penceritaan dalam sebuah novel. Di Inggris, Jeffrey Archer dalam novel As The Crow Flies, menulis dengan dua sudut pandang. Tetapi berbeda dengan Multatuli, Archer menggunakan sudut pandang orang pertama dan ketiga secara teratur dan ditempatkan dalam sub-bab tertentu, yang dengan sendirinya menunjukkan kedisiplinan dan pengalaman penulisnya dalam mempertahankan penuturan yang tidak membingungkan pembaca. Misalnya pada bab Charlie, Archer menulis dengan sudut pandang orang pertama pada sub-bab 1, sedangkan sub-bab 2—5 ditulis dengan sudut pandang orang ketiga.
Tokoh saya, yang sampai pertengahan cerita sudah mulai dianggap sebagai Max Havelaar oleh pembaca, tiba-tiba ditegaskan sebagai Multatuli, si pengarang sendiri, dengan tulisan “Ya, aku Multatuli, yang telah banyak menderita mengangkat pena. Aku tidak minta maaf untuk bentuk bukuku,…bentuk itu aku rasa baik untuk mencapai tujuanku (Multatuli, 1977:227).
Pergeseran sudut pandang dalam novel Max Havelaar dapat dimaklumi sebagai kelalaian dan ketidaktahuan seorang penulis pemula, seperti yang diakui sendiri oleh penulisnya, “…Bukan saja saya belum pernah menulis sesuatu yang serupa dengan roman, tapi malahan saya tidak suka membaca yang seperti itu, karena saya adalah seorang pedagang (Multatuli, 1977:1). Jadi, penyebabkan bukan semata-mata seperti yang diterangkan oleh Niuwenhuys (1979:105) dengan menjelaskan bahwa segala macam akal literer dipakai Multatuli untuk mencapai tujuannya, yakni: meyakinkan sidang pembaca bahwa pengarang benar, sehingga mereka menyetujui pendiriannya.…” Ketika buku yang ditulis oleh Multatuli dapat dianggap sebagai pesan kebenaran, seperti yang selalu diakuinya pada banyak bagian dari Max Havelaar, denan sendirinya pengakuan dalam kutipan di atas dapat dijadikan sebagai alasan untuk menganggap bahwa ketidakteraturan pengggunaan sudut pandang dalam bukunya disebabkan karena ketidaktahuan yang melahirkan kesemberonohan.
Teknik bercerita Multatuli yang unik, rumit, dan berbelit, sebenarnya dapat dianggap sebagai trobosan penting dalam penulisan bergenre sastra. Sayangnya anggapan itu harus diabaikan setelah Multatuli (1977: 227) mengemukakan…aku bukan hendak menulis baik…seperti orang yang berteriak “Tangkap maling itu!” tidak peduli gaya ia menyampaikan ucapannya yang spontan itu, maka aku pun tidak peduli bagaimana orang menanggapi cara aku meneriakkan: “Tangkap maling itu!” pernyataan itu, meskipun singkat, dengan sempurna telah berhasil menyampaikan tentang keseluruhan isi roman Max Havelaar.
Max Havelaar, dan novel lainnya, seyogyanya merupakan pesan sebuah zaman dari lensa pengalaman dan pengamatan seorang pengarang. Eduard nampaknya merupakan sosok yang sulit berdamai dengan dirinya ketika sedang dihadapkan pada persoalan yang baru dapat diselesaikan dengan baik setelah melalui kerja sama dan pemikiran yang matang serta tidak tergesa-gesa. Peryataan Multatuli tentang kehendaknya untuk tidak menulis dengan baik, dengan tepat menggambarkan sikap keras kepalanya. Dia memang sosok yang tidak mau diatur, bukan saja oleh atasannya, tetapi juga oleh tatapenulisan yang nantinya dapat menunjukkan genre tulisannya. Tulisan naratif berlatar belakang kisahnyata, belakangan ini banyak ditemukan. Max Havelaar bukan satunya-satunya tulisan yang dilatarbelakangi oleh kisah nyata. Belakangan ini, tulisan berlata belakang kisah nyata, banyak dijumpai, baik sebagai novel Indonesia maupun novel terjemahan, tetapi Max Havelaar tetap menjadi satu-satunya tulisan bergaya naratif yang karena semangat pengarangnya menandaskan tulisannya sebagai kebenaran, terpaksa harus dinikmati oleh pembaca dengan sikap mendua—membacanya sebagai novel dengan konsekuensi berhadapan dengan kebohongan yang diperbolehkan karena memang disadari sebagai produk kebohongan yang mempunyai pesan kebenaran ataukan membanya sebagai laporan autobiografi yang bertendensi memuliakan diri penulisnya.
Pada saat menjadi asisten residen di Lebak, Eduard mengajukan laporan dengan menuduh Bupati Lebak menyalahgunakan kekuasaan. Sebagian besar tuduhannya didasarkan pada berkas-berkas yang ditinggalkan oleh asisten residen sebelumnya. Usulan Eduad untuk menarik bupati itu ke Serang supaya tidak dapat mempengaruhi saksi-saksi kalau nanti terjadi pengusutan, tidak segera dapat dipenuhi oleh residen. Sebagai pejabat yang menerima laporan, Residen Brest van Kempen segera meunuju Lebak guna mencari informasi lebih lanjut, tetapi Eduard menolak menyerahkan bukti-bukti yang mendasari tuduhannya, dan menandaskan bahwa dia ingin memikul seluruh tanggung jawabnya. Di sisi yang lain, residen tidak mau menyerahkan persoalan yang serius itu kepada seorang asisten residen. Dengan sepengathuan Eduard, residen lalu membuat laporan kepada gubernur jenderal. Tanpa menyertakan residen, gubernur jenderal secara pribadi menulis surat yang isinya tidak membenarkan tindakan Eduard. Dalam waktu tiga bulan, kegemparan yang ditimbulkan oleh Eduard itu selesai dengan kekecewaan yang akhirnya berbuntut pada penulisan Max Havelaar.
Kegagalan tokoh saya, Max Havelaar, dan Multatuli sendiri dalam berbagai upaya membangun kehidupan yang lebih baik, bagi dirinya dan orang lain, sebenarnya tidak lepas dari cara berpikir Multatuli yang ingin menyelesaikan masalah bersama dengan aturan permainannya sendiri, yang secara alami tentu saja ia pikir benar, tanpa mempedulikan orang lain yang juga bermaksud sama tetapi lebih mengutamakan cara-cara yang tidak reaktif.
Keberhasilan roman Max Havelaar menjadi karya sastra penting dalam kesusastraan Belanda terutama dengan gaya barunya, merupakan kebetulan belaka, karena karya yang sebenarnya salah menurut tatacara penulisan fiksi yang lazim itu, justru dianggap sebagai pembaharu. Penomenanya hampir sama seperti pengalaman Duras saat menawarkan penerbitan novel The Lover. Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa novel Duras itu, awalnya dimaksudkan sebagai kata-kata yang menjadi keterangan foto. Tetapi oleh Jerome Lindon, editor de Minuit yang terkenal sangat menjujung tinggi idealisme dunia sastra Prancis, bersedia bekerja sama dengan Duras dengan satu syarat, The Lover terbit tanpa foto (Editor Duras: 2004:9—10). Dan hasilnya, kata-kata Duras memang jauh lebih ampuh daripada foto-fotonya, sehingga selain menjadi karya bestseller international, novel Duras juga memenangkan Prix Goncourt, sebuah penghargaan paling bergengsi di Prancis.
hello.. menurut pendapat saya, Multatuli hanya menggunakan dua sudut pandang yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga dimana sudut pandang orang pertama sebagai "aku" dipakai oleh dua narator yaitu Multatuli itu sendiri dan Batavus Droogstoppel sedangkan sudut pandang orang ketiga dipakai oleh Ernest Stern.
BalasHapus