Sebuah ungkapan Italia mengatakan penerjemah adalah penghianat (Eco, 2004). Penghianatan itu kemudian menjadi lebih rumit apabila pengarangnya ikut mengambil bagian dalam proses terjemahan, karena konspirasinya dapat membuat marah para pemuja kemurnian bahasa. Dengan sangat baik, Eco mengumpamakan penerjemahan seperti peristiwa yang kerap dijumpai di pasar. Pedagang meminta 100, pembeli menawar 10, lalu setelah tawar-menawar, kedua pihak sepakat pada harga 50. Secara teoretis, bahasa-bahasa yang berbeda tidak mungkin berpegang pada satu standar. Kenyataan ini membuat penerjemahan menjadi bidang garapan yang harus ditangani dengan kerja keras, keseriusan, dan kecermatan yang mendalam.
Kebudayaan yang berbeda sering menyebabkan kata tertentu dalam satu bahasa ternyata memiliki varian dalam bahasa lain. Tentu akan sangat sukar bagi seorang penerjemah berbahasa Arab misalnya untuk menjelaskan kuda semacam apa yang dimaksudkan oleh teks berbahasa Indonesia karena bangsa Arab mengenal banyak nama untuk istilah kuda. Oleh karena itu, penerjemah berbahasa Arab sebaiknya mempunyai pengetahuan tentang kebudayaan Indonesia, sehingga kata kuda dapat diterjemahkan dengan tepat ke dalam bahasa targetnya.
Memang idealnya pengarang dan penerjemah perlu melakukan komunikasi yang memungkinkan keduanya dapat mencapai teks ideal seperti yang dimaksud oleh Walter Benjamin sebagai Reine Sprache (bahasa Murni). Seperti yang diungkapkan oleh Eco (2004) saya tidak akan pernah bisa berkolaborasi penuh pada penerjemah berbahasa Jepang atas karya saya (meskipun saya sudah berusaha). Hal tersebut terjadi karena sebagai pengarang Eco merasa sulit memahami cara berpikir orang Jepang yang nantinya menjadi target penerjemahan bukunya.
Kasus paling menarik dari fenomena penerjemahan ialah bagaimana menerjemahkan War and Peace karya Leo Tolstoy ke dalam bahasa Prancis. Novel tersebut ditulis dalam bahasa Rusia, kecuali pada bagian awalnya, ditulis dalam bahasa Prancis. Apakah bagian yang merupakan percakapan panjang itu juga harus diterjemahkan? Yang bisa berarti dibiarkan apa adanya? Jika keputusannya membiarkan bagian awal itu tetap berbahasa Prancis, maka pembaca berbahasa Prancis akan kehilangan kesempatan memahami bahwa percakapan berbahasa Prancis dalam novel itu yang sebenarnya membicarakan hal-hal remeh merupakan identitas kebangsawanan di Rusia pada masa kekuasaan Napoleon. Para bangsawan Rusia pada masa tersebut cenderung mengidentifikasi diri dengan berbahasa Prancis dalam percakapan sehari-hari.
Dalam kasus novel Max Havelaar yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia oleh H.B. Jassin, proses terjemahannya jelas dilakukan tanpa melibatkan sang pengarang, karena Eduard telah wafat 85 tahun sebelumnya. Sulit untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh H.B. Jassin pada saat menerjemahkan Max Havelaar. Penelusuran atas tulisan-tulisan yang telah dibuat mengenai novel Max Havelaar belum berhasil memberikan petunjuk mengenai topik tersebut.
Sebagai pembaca berbahasa Indonesia, saya tidak bisa menikmati Max Havelaar seperti terjemahan The Name of The Rose karya Umberto Eco, The Lover karya Marguerite Duras, Imperium karya Robert Harris, The Alchemist karya Paulo Coelho, The Thorn Birds karya Collen McCullough, Love Story karya Erich Segal, The Pillars of the Earth karya Ken Follett, Missage in a Bottle karya Nicholas Spark, dan bahkan nuansa Inggris klasik masih dapat saya nikmati pada novel The Shell Seekers karya Rosamunde Pilcher. Bahkan membaca terjemahan A Beautiful Mind, sebuah biografi tentang seorang pemenang nobel matematika yang menderita skizofrenia, ditulis oleh Sylvia Nasar, lebih memberikan kenikmatan naratif dibandingkan dengan tulisan Multatuli yang memang dimaksudkan sebagai karya naratif. Tidak semua karya-karya di atas merupakan hasil kerja tim penerjemah, beberapa di antaranya merupakan hasil kerja penerjemah tunggal. Berdasarkan kenyataan itu, baik tidaknya sebuah terjemahan, nampak tidak terlalu dipengaruhi oleh seberapa banyak penerjemah yang menanganinya.
Jika terjemahan Max Havelaar yang tidak memberikan kenikmatan bahasa sastra tersebut dituduhkan sebagai ketidakberhasilan penerjemahan, maka H.B. Jassin, orang yang menerjemahkan roman itu, dan disebut-sebut sebagai paus kesastraan Indonesia, merupakan sosok paling bertanggung jawab atas kegagalan membawa kekuatan sastra roman Multatuli ke permukaan. Tetapi faktanya, sebagai penerjemah Max Havelaar, H.B. Jassin telah menerima penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard atas terjemahannya. Hermann Hesse juga tidak menyebutkan keunggulan gaya bahasa sebagai alasan memasukkan roman Max Havelaar ke dalam deretan buku bacaan yang sangat dikaguminya. Gaya bahasa prosa yang belum matang merupakan sisi prosais yang belum dicapai oleh novel Max Havelaar. Jakobson menjelaskan bahwa karya satra merupakan tindak kekerasan teratur terhadap ujaran biasa (Eagleton, 2006). Gaya bahasa memang bukan satu-satunya kriteria untuk menganggap sebuah karya sastra bermutu atau tidak, tetapi mengabaikannya menyebabkan karya yang lahir sebagai produk sastra merupakan media yang sanggup menyiksa pembacanya karena dipaksa menemukan keunggulan dalam struktur cerita tanpa menikmati perjalanan dalam usaha menemukan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar