Rabu, 06 Mei 2009

pengaruh judul bagi sebuah novel atau film

Umberto Eco (2004) dalam postscript to “The Nam of the Rose” menjelaskan bahwa judul adalah kunci interpretasi. The Lover karya Marguerite Duras, Imperium karya Robert Harris, The Alchemist karya Paulo Coelho, Missage in a Bottle karya Nicholas Spark, dan Love Story karya Erich Segal, merupakan contoh novel yang isinya telah diisyaratkan oleh judulnya. Demikian pula dengan War and Peace karya Leo Tolstoy. Selain itu, ada juga novel dengan judul-judul yang hanya membatasi diri pada nama sang tokoh utama, seperti Anna Karenina karya Leo Tolstoy, Saman karya Ayu Utami, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Max Havelaar karya Multatuli.

Pembatasan diri pada nama tokoh utama dalam cerita seperti pada contoh novel-novel terakhir di atas, membuat pembaca berpengalaman segera mengetahui bahwa novel tersebut mengisahkan tentang seseorang bernama Anna Karenina, Saman, Siti Nurbaya, atau Max Havelaar. Tetapi di balik pengetahuan yang cepat itu, segera muncul pertanyaan di benak calon pembaca mengenai kehidupan macam apa yang dijalani oleh para tokoh yang akhirnya dipilih oleh pengarangnya menjadi judul novel.
Judul sebuah novel sangat penting terutama saat keberadaannya mampu menjadi identitas pertama yang memikat perhatian pembaca. Di Indonesia, novel Ayat-ayat Cinta, berhasil manarik perhatian pembaca dari berbagai usia. Film-nya bahkan ditunggu-ditunggu dengan tidak sabar oleh orang-orang yang pernah membaca atau hanya mendengar sesuatu mengenai novelnya. Harapan tersebut menjadikan Ayat-ayat Cinta sebagai novel pertama yang mampu membawa energi dan semangat khas Hollywood ke Indonesia—menunggu sinemanya segera setelah kemunculan novelnya, seperti fenomena Harry Potter.
Kesuksesan Ayat-ayat Cinta segera diikuti dengan kemunculan novel-novel baru yang diberi judul dengan rumus judul yang sama, baik yang dimaksudkan untuk mengikuti pengulangan kata ayat-ayat maupun penggunaan kata cinta. Beberapa di antara novel yang kesuksesannya dipertaruhkan pada upaya pengemasan judul yang mengikuti pengulangan kata dalam novel ayat-ayat Cinta antara lain Lafazh-lafazh Cinta karya Hadi S. Khuli, Takbir-takbir Cinta karya Riyanto el Harist, Syair-syair Cinta Sang Ksatria karya Elvandi el Faez, Bulir-bulir Kasih karya Taufik Djafri. Novel-novel bernuansa Islam yang muncul belakangan ini, dan mengklaim diri sebagai novel pembangun jiwa, menyertakan kata cinta dalam struktur judul, di antaranya Tahajjud Cinta karya Muhammad el Natsir, Takdir Cinta karya Indra San Meazza, Atas Nama Cinta karya Wayu Sujani, Berselimut Surban Cinta karya Irwanto al Krienciehie, Tasawuf Cinta karya M. Hilmi As,ad, Musafir Cinta karya Taufikurrahman al Azizy, Syahadat Cinta karya Taufikurrahman al Azizy, Makrifat Cinta karya Taufikurrahman al Azizy, dan ditambah dengan beberapa judul dari fenomena pengulangan kata pada judul seperti yang sudah disebutkan di atas. Bahkan nama pengarang bernuansa Arab, seperti Habiburrahman El Shirazy, segera diikuti dengan kemunculan nama pengarang lainnya yang bernuansa Arab, seperti Taufikurrahman al Azizy, Muhammad el Natsir, dan Irwanto al Krienchiehie.
Apresiasi pembaca Indonesia yang sangat baik terhadap kehadiran novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, segera diikuti dengan munculnya novel dengan judul yang nyaris sama—Rumah Pelangi karya Samsikin Abu Daldiri. Apa pun alasannya, kehadiran novel baru yang ingin mengikuti kesuksesan novel sebelumnya dengan mengikuti rumus pembuatan judul dengan mempertahankan penggunaan kata tertentu pada novel sebelumnya yang dianggap sebagai pemikat utama, merupakan hasil kerja dari penulis kelas dua, yang tidak melatih mentalnya menjadi pencetus, dan sudah puas mendapati dirinya sebagai pengikut, yang bila tidak hati-hati bisa menyeret mereka menjadi plagiator.
Seperti yang diungkapkan oleh Eco (2004) tindakan yang mungkin paling baik (dalam pembuatan judul) ialah dengan bertindak tidak jujur secara jujur, seperti Dumas yang menulis novel The Three Musketeers. Pada kenyataannya, novel tersebut tidak bercerita tentang tiga ksatria melainkan tentang ksatria keempat. Diakui oleh Eco bahwa penggunaan judul semacam itu merupakan kemewahan yang langka, dan boleh jadi penulisnya membiarkan diri menikmati pengalaman tersebut sebagai kebetulan belaka.
Dilihat dari judulnya, Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda merupakan novel dengan judul yang sangat khas. Kekhasannya terdapat pada penggunaan kata “atau” yang tidak menunjukkan bahwa kata-kata berikutnya merupakan anak judul, tetapi lebih mungkin dimaksudkan sebagai judul pilihan oleh pengarangnya, namun oleh penerbitnya kemudian dijadikan sebagai satu judul yang utuh. Efeknya sangat baik, karena kata itu, yang langka digunakan dalam penulisan judul sebuah novel atau buku, dengan sendirinya menjadikan tulisan Multatuli itu sebagai satu-satunya novel yang pernah ditulis dengan dua judul tetapi dapat dipahami sebagai satu judul, meskipun pada akhirnya pembaca lebih mengenalnya hanya dengan judul pertama yang merujuk pada sebuah nama—Max Havelaar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar