Rabu, 06 Mei 2009

kebenaran moral, bukan kebenaran historis

Secara eksplisit, pada banyak bagian dari narasinya, Multatuli menawarkan kebenaran dalam nuansa kemarahan—tulisan khas seseorang yang sudah pernah disingkirkan dari permainan. Kemarahan pertama Multatuli ditujukan kepada para penyair dan penulis karya sastra dengan menulis “…saya heran melihat betapa kurang ajarnya seorang penyair atau pencerita roman mengibuli Anda dengan cerita yang tidak pernah terjadi, dan seringkali tidak mungkin terjadi (Multatuli, 1977:1). Dengan pernyataan itu, Multatuli tidak sengaja memberitahukan kepada pembaca tentang ketidakmampuannya dalam membedakan tulisan fiksi dan nonfiksi, yang pada abad ini, sudah dengan jelas diterangkan perbedaannya oleh para teoritikus sastra, terutama Terry Eagleton.

Samuel Johnson (dalam Barnes, 2005:270—271) menjelaskan bahwa tujuan absah fiksi adalah sebagai alat penyampai kebenaran, namun kebenaran yang ada dalam pikiran sebuah fiksi adalah kebenaran moral, bukan kebenaran historis. Protes yang dilontarkan oleh Multatuli di awal karyanya, jelas tidak lahir dari orang yang memiliki kemampuan dan kearifan untuk dapat memberikan perbedaan dengan tepat antara kebenaran moral dan kebenaran historis. Kebenaran historis, bisa kita bebankan pada buku-buku sejarah, dan beberapa biografi, sedangkan kebenaran moral menjadi beban buku-buku sastra.

Kemarahan Multatuli pada kebohongan para sastrawan, dengan sangat baik telah menggambarkan kebingungannya mengenai konsep kebenaran. Hal itu dapat dimaklumi dari tulisannya, yang mungkin dimaksudkan sebagai sebuah laporan, tetapi karena ditulis dengan sangat emosional, dia menjadi tidak bisa menghindari keterlibatan dirinya secara langsung di dalam tulisan yang sedang digarap. Kemunculan nama Max Haavelar hampir setelah mencapai separuh cerita, dapat memperkuat dugaan bahwa selama penulisan roman itu, Multatuli bergelut dengan dirinya sendiri dalam upaya mencapai keputusan untuk terus bercerita sebagai orang yang terlibat langsung, atau dengan memosisikan dirinya sebagai pengamat yang hanya bercerita. Apa yang kemudian telah ia lakukan, menjelaskan bahwa keputusan untuk bercerita dengan sesekali memosisikan diri sebagai pengamat atas dirinya, dapat menempatkannya pada posisi selalu aman dari tuntutan penguasa yang kelak ternyata membahayakan hidupnya bila tulisannya akhirnya memunculkan reaksi keras dari pihak-pihak yang merasa kepentingannya diusik.

Pernyataan Multatuli lewat tokoh saya, dengan menulis “ini adalah sungguh-sungguh benar” (Multatuli, 1977:9). Tulisan yang hampir sama pesannya dengan itu, dalam bentuk kalimat-kalimat lain yang tersebar di seluruh bagian cerita, sepertinya secara sengaja ditulis untuk menunjukkan betapa Multatuli mencintai kebenaran. Kecintaan seseorang pada kebenaran, kecintaan seorang penulis pada sesuatu, tidak selalu baik kesannya bila disampaikan dengan bahasa lugas. Penulis novel dan karya sastra lainnya, adalah mereka yang ditakdirkan dapat menulis sesuatu dengan bahasa yang multi-interpretasi. Kualitas seorang penulis justru menjadi semakin baik bila karyanya kaya dengan interpretasi. Begitu banyak tulisan yang dimaksudkan memberikan kesan bahwa tokoh Max Havelaar, atau Multatuli sendiri adalah seorang pecinta kebenaran, layak mendatangkan keragu-raguan tentang kualitas dan kapasitas kebenaran yang diembannya. Selain misi menemukan kebenaran, cara mencapainya juga amat penting menjadi perhatian. Seperti yang diungkapkan oleh Eco dalam The Name of the Rose (2004:?)…satu-satunya kebenaran sebenarnya terdapat dalam proses kita belajar membebaskan diri dari nafsu tak waras untuk memburu kebenaran.

Di bagian akhir narasinya, tokoh saya, yang kemudian dikenal sebagai Max Havelaar pada bagian cerita berikutnya, lalu di akhir roman diidentifikasi sebagai Multatuli, menjelaskan tujuannya menulis romannya, “Pertama-tama aku hendak membuat sesuatu yang dapat disimpan sebagai pusaka yang keramat oleh Max Junior dan adiknya, apabila orang tuanya sudah mati karena sengsara. Aku hendak berikan anak-anak itu surat tanda bangsawan yang kutulis sendiri. Dan kedua: aku mau dibaca!” (Multatuli, 1977:227).

Kedua tujuan itu kini sudah tercapai. Eduard dan keluarganya mendapat tempat terhormat di hati para pembaca Max Havelaar. Tetapi tidak semua penulis ditakdirkan menikmati hidupnya dengan cara-cara yang umum dianggap baik. Hak cipta novel tersebut baru dapat dinikmati oleh Eduard setelah empat belas tahun penerbitan Max Havelaar. Orang tidak dilihat berhasil dari kesempurnaan rencana sesuatu yang dimulainya, tetapi dari sesuatu yang bisa diselesaikan dengan sempurna. Keberuntungan Multatuli atas pengakuan dunia pada karyanya, tidak diikuti oleh keberuntungan lain yang lebih dibutuhkannya, yaitu kebahagiaan dalam hidupnya.

Para penulis karya sastra, seringkali bahagia dengan cara-cara yang aneh, yang sulit dipahami. Seandainya Eduard bisa bertahan lebih lama di Lebak, dengan mencoba mengikuti permainan atasannya, keinginan memberikan kehidupan adil bagi masyarakat bumi-putra bukan tidak mungkin dapat tercapai. Tetapi kehidupan tidak mengalir dengan alur seperti itu. Sikap tidak mau diatur terlanjur tumbuh subur dalam dirinya, bahkan mewarnai karyanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar