Rabu, 06 Mei 2009

kebenaran moral, bukan kebenaran historis

Secara eksplisit, pada banyak bagian dari narasinya, Multatuli menawarkan kebenaran dalam nuansa kemarahan—tulisan khas seseorang yang sudah pernah disingkirkan dari permainan. Kemarahan pertama Multatuli ditujukan kepada para penyair dan penulis karya sastra dengan menulis “…saya heran melihat betapa kurang ajarnya seorang penyair atau pencerita roman mengibuli Anda dengan cerita yang tidak pernah terjadi, dan seringkali tidak mungkin terjadi (Multatuli, 1977:1). Dengan pernyataan itu, Multatuli tidak sengaja memberitahukan kepada pembaca tentang ketidakmampuannya dalam membedakan tulisan fiksi dan nonfiksi, yang pada abad ini, sudah dengan jelas diterangkan perbedaannya oleh para teoritikus sastra, terutama Terry Eagleton.

Samuel Johnson (dalam Barnes, 2005:270—271) menjelaskan bahwa tujuan absah fiksi adalah sebagai alat penyampai kebenaran, namun kebenaran yang ada dalam pikiran sebuah fiksi adalah kebenaran moral, bukan kebenaran historis. Protes yang dilontarkan oleh Multatuli di awal karyanya, jelas tidak lahir dari orang yang memiliki kemampuan dan kearifan untuk dapat memberikan perbedaan dengan tepat antara kebenaran moral dan kebenaran historis. Kebenaran historis, bisa kita bebankan pada buku-buku sejarah, dan beberapa biografi, sedangkan kebenaran moral menjadi beban buku-buku sastra.

Kemarahan Multatuli pada kebohongan para sastrawan, dengan sangat baik telah menggambarkan kebingungannya mengenai konsep kebenaran. Hal itu dapat dimaklumi dari tulisannya, yang mungkin dimaksudkan sebagai sebuah laporan, tetapi karena ditulis dengan sangat emosional, dia menjadi tidak bisa menghindari keterlibatan dirinya secara langsung di dalam tulisan yang sedang digarap. Kemunculan nama Max Haavelar hampir setelah mencapai separuh cerita, dapat memperkuat dugaan bahwa selama penulisan roman itu, Multatuli bergelut dengan dirinya sendiri dalam upaya mencapai keputusan untuk terus bercerita sebagai orang yang terlibat langsung, atau dengan memosisikan dirinya sebagai pengamat yang hanya bercerita. Apa yang kemudian telah ia lakukan, menjelaskan bahwa keputusan untuk bercerita dengan sesekali memosisikan diri sebagai pengamat atas dirinya, dapat menempatkannya pada posisi selalu aman dari tuntutan penguasa yang kelak ternyata membahayakan hidupnya bila tulisannya akhirnya memunculkan reaksi keras dari pihak-pihak yang merasa kepentingannya diusik.

Pernyataan Multatuli lewat tokoh saya, dengan menulis “ini adalah sungguh-sungguh benar” (Multatuli, 1977:9). Tulisan yang hampir sama pesannya dengan itu, dalam bentuk kalimat-kalimat lain yang tersebar di seluruh bagian cerita, sepertinya secara sengaja ditulis untuk menunjukkan betapa Multatuli mencintai kebenaran. Kecintaan seseorang pada kebenaran, kecintaan seorang penulis pada sesuatu, tidak selalu baik kesannya bila disampaikan dengan bahasa lugas. Penulis novel dan karya sastra lainnya, adalah mereka yang ditakdirkan dapat menulis sesuatu dengan bahasa yang multi-interpretasi. Kualitas seorang penulis justru menjadi semakin baik bila karyanya kaya dengan interpretasi. Begitu banyak tulisan yang dimaksudkan memberikan kesan bahwa tokoh Max Havelaar, atau Multatuli sendiri adalah seorang pecinta kebenaran, layak mendatangkan keragu-raguan tentang kualitas dan kapasitas kebenaran yang diembannya. Selain misi menemukan kebenaran, cara mencapainya juga amat penting menjadi perhatian. Seperti yang diungkapkan oleh Eco dalam The Name of the Rose (2004:?)…satu-satunya kebenaran sebenarnya terdapat dalam proses kita belajar membebaskan diri dari nafsu tak waras untuk memburu kebenaran.

Di bagian akhir narasinya, tokoh saya, yang kemudian dikenal sebagai Max Havelaar pada bagian cerita berikutnya, lalu di akhir roman diidentifikasi sebagai Multatuli, menjelaskan tujuannya menulis romannya, “Pertama-tama aku hendak membuat sesuatu yang dapat disimpan sebagai pusaka yang keramat oleh Max Junior dan adiknya, apabila orang tuanya sudah mati karena sengsara. Aku hendak berikan anak-anak itu surat tanda bangsawan yang kutulis sendiri. Dan kedua: aku mau dibaca!” (Multatuli, 1977:227).

Kedua tujuan itu kini sudah tercapai. Eduard dan keluarganya mendapat tempat terhormat di hati para pembaca Max Havelaar. Tetapi tidak semua penulis ditakdirkan menikmati hidupnya dengan cara-cara yang umum dianggap baik. Hak cipta novel tersebut baru dapat dinikmati oleh Eduard setelah empat belas tahun penerbitan Max Havelaar. Orang tidak dilihat berhasil dari kesempurnaan rencana sesuatu yang dimulainya, tetapi dari sesuatu yang bisa diselesaikan dengan sempurna. Keberuntungan Multatuli atas pengakuan dunia pada karyanya, tidak diikuti oleh keberuntungan lain yang lebih dibutuhkannya, yaitu kebahagiaan dalam hidupnya.

Para penulis karya sastra, seringkali bahagia dengan cara-cara yang aneh, yang sulit dipahami. Seandainya Eduard bisa bertahan lebih lama di Lebak, dengan mencoba mengikuti permainan atasannya, keinginan memberikan kehidupan adil bagi masyarakat bumi-putra bukan tidak mungkin dapat tercapai. Tetapi kehidupan tidak mengalir dengan alur seperti itu. Sikap tidak mau diatur terlanjur tumbuh subur dalam dirinya, bahkan mewarnai karyanya.

sudut pandang dalam novel max havelaar

Multatuli menulis Max Havelaar dengan tiga sudut pandang. Pada bab pertama sampai dengan bab keempat, juga pada bebepara bagian dalam bab-bab berikutnya, secara acak, Multatuli bercerita dengan sudut pandang orang pertama, lalu berpindah ke sudut pandang orang kedua, kemudian bercerita lagi dengan sudut pandang orang ketiga. Penggunaan sudut pandang orang pertama, terlihat pada kutipan berikut, “Saya selalu melihat, bahwa orang-orang yang melakukan pekerjaan itu, biasanya buruk akhirnya” (Multatuli, 1977:1). Kalimat di atas bukan bagian dari percakapan, tetapi bagian dari paragraf yang digunakan oleh Multatuli untuk menjelaskan mengenai siapa dirinya.

Nama Max Havelaar baru digunakan menjelang bagian akhir bab keempat, pada saat Multatuli menceritakan tokoh utama itu seperti sedang melukiskan orang asing yang sama sekali tidak menjadi bagian dari “saya” sesuai dengan yang dituturkan pada bab-bab sebelumnya, dan bab-bab berikutnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut: “Saya belum cerita apa-apa tentang Max Havelaar dan istrinya, sebab merekalah orang-orang yang keluar dari kereta sesudah residen, dengan anak dan babunya...dia tidak canggung dan tidak ada sikap yang tidak enak…(Multatuli, 1977:47). Dengan gaya bercerita Multatuli tersebut, pembaca tidak berpengalaman bisa tersesat menganggap tokoh tanpa nama yang dituturkan pada bab-bab sebelumnya sebagai tokoh lain dan bukan Max Havelaar sendiri, karena pada paragraf yang sama Multatuli bercerita dengan sudut pandang orang pertama untuk menceritakan tokoh lain yang sebenarnya adalah dirinya.

Keterkaitan kedua tokoh yang dituturkan dengan tiga sudut pandang itu, baru diketahui setelah pada bagian berikutnya, pada paragraf yang sama, Multatuli (1977:47) menulis “…saya hendak mengatakan kepada Anda bahwa nyonya Havelaar tidaklah cantik, tetapi dalam pandangan dan bicaranya ada sesuatu yang manis sekali…” dengan sembarangan, seolah setiap pembaca dapat dianggap akan mudah memahaminya dan bisa memberikan penghargaan atas ketidakdisiplinannya dalam menentukan posisinya sebagai pencerita. Kutipan terakhir di atas menunjukkan bahwa Multatuli menggunakan sudut pandang orang kedua, sebagai upaya untuk melibatkan pembaca di dalam memberikan penilaian. Teknik seperti itu jarang ditemukan dalam penulisan karya sastra. Penulisan dengan melibat pembaca sangat dianjurkan sebagai upaya memikat perhatian para pembaca artikel atau esai.

Multatuli bukan satu-satunya penulis novel yang menggunakan lebih dari satu sudut pandang penceritaan dalam sebuah novel. Di Inggris, Jeffrey Archer dalam novel As The Crow Flies, menulis dengan dua sudut pandang. Tetapi berbeda dengan Multatuli, Archer menggunakan sudut pandang orang pertama dan ketiga secara teratur dan ditempatkan dalam sub-bab tertentu, yang dengan sendirinya menunjukkan kedisiplinan dan pengalaman penulisnya dalam mempertahankan penuturan yang tidak membingungkan pembaca. Misalnya pada bab Charlie, Archer menulis dengan sudut pandang orang pertama pada sub-bab 1, sedangkan sub-bab 2—5 ditulis dengan sudut pandang orang ketiga.

Tokoh saya, yang sampai pertengahan cerita sudah mulai dianggap sebagai Max Havelaar oleh pembaca, tiba-tiba ditegaskan sebagai Multatuli, si pengarang sendiri, dengan tulisan “Ya, aku Multatuli, yang telah banyak menderita mengangkat pena. Aku tidak minta maaf untuk bentuk bukuku,…bentuk itu aku rasa baik untuk mencapai tujuanku (Multatuli, 1977:227).

Pergeseran sudut pandang dalam novel Max Havelaar dapat dimaklumi sebagai kelalaian dan ketidaktahuan seorang penulis pemula, seperti yang diakui sendiri oleh penulisnya, “…Bukan saja saya belum pernah menulis sesuatu yang serupa dengan roman, tapi malahan saya tidak suka membaca yang seperti itu, karena saya adalah seorang pedagang (Multatuli, 1977:1). Jadi, penyebabkan bukan semata-mata seperti yang diterangkan oleh Niuwenhuys (1979:105) dengan menjelaskan bahwa segala macam akal literer dipakai Multatuli untuk mencapai tujuannya, yakni: meyakinkan sidang pembaca bahwa pengarang benar, sehingga mereka menyetujui pendiriannya.…” Ketika buku yang ditulis oleh Multatuli dapat dianggap sebagai pesan kebenaran, seperti yang selalu diakuinya pada banyak bagian dari Max Havelaar, denan sendirinya pengakuan dalam kutipan di atas dapat dijadikan sebagai alasan untuk menganggap bahwa ketidakteraturan pengggunaan sudut pandang dalam bukunya disebabkan karena ketidaktahuan yang melahirkan kesemberonohan.

Teknik bercerita Multatuli yang unik, rumit, dan berbelit, sebenarnya dapat dianggap sebagai trobosan penting dalam penulisan bergenre sastra. Sayangnya anggapan itu harus diabaikan setelah Multatuli (1977: 227) mengemukakan…aku bukan hendak menulis baik…seperti orang yang berteriak “Tangkap maling itu!” tidak peduli gaya ia menyampaikan ucapannya yang spontan itu, maka aku pun tidak peduli bagaimana orang menanggapi cara aku meneriakkan: “Tangkap maling itu!” pernyataan itu, meskipun singkat, dengan sempurna telah berhasil menyampaikan tentang keseluruhan isi roman Max Havelaar.

Max Havelaar, dan novel lainnya, seyogyanya merupakan pesan sebuah zaman dari lensa pengalaman dan pengamatan seorang pengarang. Eduard nampaknya merupakan sosok yang sulit berdamai dengan dirinya ketika sedang dihadapkan pada persoalan yang baru dapat diselesaikan dengan baik setelah melalui kerja sama dan pemikiran yang matang serta tidak tergesa-gesa. Peryataan Multatuli tentang kehendaknya untuk tidak menulis dengan baik, dengan tepat menggambarkan sikap keras kepalanya. Dia memang sosok yang tidak mau diatur, bukan saja oleh atasannya, tetapi juga oleh tatapenulisan yang nantinya dapat menunjukkan genre tulisannya. Tulisan naratif berlatar belakang kisahnyata, belakangan ini banyak ditemukan. Max Havelaar bukan satunya-satunya tulisan yang dilatarbelakangi oleh kisah nyata. Belakangan ini, tulisan berlata belakang kisah nyata, banyak dijumpai, baik sebagai novel Indonesia maupun novel terjemahan, tetapi Max Havelaar tetap menjadi satu-satunya tulisan bergaya naratif yang karena semangat pengarangnya menandaskan tulisannya sebagai kebenaran, terpaksa harus dinikmati oleh pembaca dengan sikap mendua—membacanya sebagai novel dengan konsekuensi berhadapan dengan kebohongan yang diperbolehkan karena memang disadari sebagai produk kebohongan yang mempunyai pesan kebenaran ataukan membanya sebagai laporan autobiografi yang bertendensi memuliakan diri penulisnya.

Pada saat menjadi asisten residen di Lebak, Eduard mengajukan laporan dengan menuduh Bupati Lebak menyalahgunakan kekuasaan. Sebagian besar tuduhannya didasarkan pada berkas-berkas yang ditinggalkan oleh asisten residen sebelumnya. Usulan Eduad untuk menarik bupati itu ke Serang supaya tidak dapat mempengaruhi saksi-saksi kalau nanti terjadi pengusutan, tidak segera dapat dipenuhi oleh residen. Sebagai pejabat yang menerima laporan, Residen Brest van Kempen segera meunuju Lebak guna mencari informasi lebih lanjut, tetapi Eduard menolak menyerahkan bukti-bukti yang mendasari tuduhannya, dan menandaskan bahwa dia ingin memikul seluruh tanggung jawabnya. Di sisi yang lain, residen tidak mau menyerahkan persoalan yang serius itu kepada seorang asisten residen. Dengan sepengathuan Eduard, residen lalu membuat laporan kepada gubernur jenderal. Tanpa menyertakan residen, gubernur jenderal secara pribadi menulis surat yang isinya tidak membenarkan tindakan Eduard. Dalam waktu tiga bulan, kegemparan yang ditimbulkan oleh Eduard itu selesai dengan kekecewaan yang akhirnya berbuntut pada penulisan Max Havelaar.

Kegagalan tokoh saya, Max Havelaar, dan Multatuli sendiri dalam berbagai upaya membangun kehidupan yang lebih baik, bagi dirinya dan orang lain, sebenarnya tidak lepas dari cara berpikir Multatuli yang ingin menyelesaikan masalah bersama dengan aturan permainannya sendiri, yang secara alami tentu saja ia pikir benar, tanpa mempedulikan orang lain yang juga bermaksud sama tetapi lebih mengutamakan cara-cara yang tidak reaktif.

Keberhasilan roman Max Havelaar menjadi karya sastra penting dalam kesusastraan Belanda terutama dengan gaya barunya, merupakan kebetulan belaka, karena karya yang sebenarnya salah menurut tatacara penulisan fiksi yang lazim itu, justru dianggap sebagai pembaharu. Penomenanya hampir sama seperti pengalaman Duras saat menawarkan penerbitan novel The Lover. Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa novel Duras itu, awalnya dimaksudkan sebagai kata-kata yang menjadi keterangan foto. Tetapi oleh Jerome Lindon, editor de Minuit yang terkenal sangat menjujung tinggi idealisme dunia sastra Prancis, bersedia bekerja sama dengan Duras dengan satu syarat, The Lover terbit tanpa foto (Editor Duras: 2004:9—10). Dan hasilnya, kata-kata Duras memang jauh lebih ampuh daripada foto-fotonya, sehingga selain menjadi karya bestseller international, novel Duras juga memenangkan Prix Goncourt, sebuah penghargaan paling bergengsi di Prancis.

pengaruh judul bagi sebuah novel atau film

Umberto Eco (2004) dalam postscript to “The Nam of the Rose” menjelaskan bahwa judul adalah kunci interpretasi. The Lover karya Marguerite Duras, Imperium karya Robert Harris, The Alchemist karya Paulo Coelho, Missage in a Bottle karya Nicholas Spark, dan Love Story karya Erich Segal, merupakan contoh novel yang isinya telah diisyaratkan oleh judulnya. Demikian pula dengan War and Peace karya Leo Tolstoy. Selain itu, ada juga novel dengan judul-judul yang hanya membatasi diri pada nama sang tokoh utama, seperti Anna Karenina karya Leo Tolstoy, Saman karya Ayu Utami, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Max Havelaar karya Multatuli.

Pembatasan diri pada nama tokoh utama dalam cerita seperti pada contoh novel-novel terakhir di atas, membuat pembaca berpengalaman segera mengetahui bahwa novel tersebut mengisahkan tentang seseorang bernama Anna Karenina, Saman, Siti Nurbaya, atau Max Havelaar. Tetapi di balik pengetahuan yang cepat itu, segera muncul pertanyaan di benak calon pembaca mengenai kehidupan macam apa yang dijalani oleh para tokoh yang akhirnya dipilih oleh pengarangnya menjadi judul novel.
Judul sebuah novel sangat penting terutama saat keberadaannya mampu menjadi identitas pertama yang memikat perhatian pembaca. Di Indonesia, novel Ayat-ayat Cinta, berhasil manarik perhatian pembaca dari berbagai usia. Film-nya bahkan ditunggu-ditunggu dengan tidak sabar oleh orang-orang yang pernah membaca atau hanya mendengar sesuatu mengenai novelnya. Harapan tersebut menjadikan Ayat-ayat Cinta sebagai novel pertama yang mampu membawa energi dan semangat khas Hollywood ke Indonesia—menunggu sinemanya segera setelah kemunculan novelnya, seperti fenomena Harry Potter.
Kesuksesan Ayat-ayat Cinta segera diikuti dengan kemunculan novel-novel baru yang diberi judul dengan rumus judul yang sama, baik yang dimaksudkan untuk mengikuti pengulangan kata ayat-ayat maupun penggunaan kata cinta. Beberapa di antara novel yang kesuksesannya dipertaruhkan pada upaya pengemasan judul yang mengikuti pengulangan kata dalam novel ayat-ayat Cinta antara lain Lafazh-lafazh Cinta karya Hadi S. Khuli, Takbir-takbir Cinta karya Riyanto el Harist, Syair-syair Cinta Sang Ksatria karya Elvandi el Faez, Bulir-bulir Kasih karya Taufik Djafri. Novel-novel bernuansa Islam yang muncul belakangan ini, dan mengklaim diri sebagai novel pembangun jiwa, menyertakan kata cinta dalam struktur judul, di antaranya Tahajjud Cinta karya Muhammad el Natsir, Takdir Cinta karya Indra San Meazza, Atas Nama Cinta karya Wayu Sujani, Berselimut Surban Cinta karya Irwanto al Krienciehie, Tasawuf Cinta karya M. Hilmi As,ad, Musafir Cinta karya Taufikurrahman al Azizy, Syahadat Cinta karya Taufikurrahman al Azizy, Makrifat Cinta karya Taufikurrahman al Azizy, dan ditambah dengan beberapa judul dari fenomena pengulangan kata pada judul seperti yang sudah disebutkan di atas. Bahkan nama pengarang bernuansa Arab, seperti Habiburrahman El Shirazy, segera diikuti dengan kemunculan nama pengarang lainnya yang bernuansa Arab, seperti Taufikurrahman al Azizy, Muhammad el Natsir, dan Irwanto al Krienchiehie.
Apresiasi pembaca Indonesia yang sangat baik terhadap kehadiran novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, segera diikuti dengan munculnya novel dengan judul yang nyaris sama—Rumah Pelangi karya Samsikin Abu Daldiri. Apa pun alasannya, kehadiran novel baru yang ingin mengikuti kesuksesan novel sebelumnya dengan mengikuti rumus pembuatan judul dengan mempertahankan penggunaan kata tertentu pada novel sebelumnya yang dianggap sebagai pemikat utama, merupakan hasil kerja dari penulis kelas dua, yang tidak melatih mentalnya menjadi pencetus, dan sudah puas mendapati dirinya sebagai pengikut, yang bila tidak hati-hati bisa menyeret mereka menjadi plagiator.
Seperti yang diungkapkan oleh Eco (2004) tindakan yang mungkin paling baik (dalam pembuatan judul) ialah dengan bertindak tidak jujur secara jujur, seperti Dumas yang menulis novel The Three Musketeers. Pada kenyataannya, novel tersebut tidak bercerita tentang tiga ksatria melainkan tentang ksatria keempat. Diakui oleh Eco bahwa penggunaan judul semacam itu merupakan kemewahan yang langka, dan boleh jadi penulisnya membiarkan diri menikmati pengalaman tersebut sebagai kebetulan belaka.
Dilihat dari judulnya, Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda merupakan novel dengan judul yang sangat khas. Kekhasannya terdapat pada penggunaan kata “atau” yang tidak menunjukkan bahwa kata-kata berikutnya merupakan anak judul, tetapi lebih mungkin dimaksudkan sebagai judul pilihan oleh pengarangnya, namun oleh penerbitnya kemudian dijadikan sebagai satu judul yang utuh. Efeknya sangat baik, karena kata itu, yang langka digunakan dalam penulisan judul sebuah novel atau buku, dengan sendirinya menjadikan tulisan Multatuli itu sebagai satu-satunya novel yang pernah ditulis dengan dua judul tetapi dapat dipahami sebagai satu judul, meskipun pada akhirnya pembaca lebih mengenalnya hanya dengan judul pertama yang merujuk pada sebuah nama—Max Havelaar.

novel terjemahan

Sebuah ungkapan Italia mengatakan penerjemah adalah penghianat (Eco, 2004). Penghianatan itu kemudian menjadi lebih rumit apabila pengarangnya ikut mengambil bagian dalam proses terjemahan, karena konspirasinya dapat membuat marah para pemuja kemurnian bahasa. Dengan sangat baik, Eco mengumpamakan penerjemahan seperti peristiwa yang kerap dijumpai di pasar. Pedagang meminta 100, pembeli menawar 10, lalu setelah tawar-menawar, kedua pihak sepakat pada harga 50. Secara teoretis, bahasa-bahasa yang berbeda tidak mungkin berpegang pada satu standar. Kenyataan ini membuat penerjemahan menjadi bidang garapan yang harus ditangani dengan kerja keras, keseriusan, dan kecermatan yang mendalam.

Kebudayaan yang berbeda sering menyebabkan kata tertentu dalam satu bahasa ternyata memiliki varian dalam bahasa lain. Tentu akan sangat sukar bagi seorang penerjemah berbahasa Arab misalnya untuk menjelaskan kuda semacam apa yang dimaksudkan oleh teks berbahasa Indonesia karena bangsa Arab mengenal banyak nama untuk istilah kuda. Oleh karena itu, penerjemah berbahasa Arab sebaiknya mempunyai pengetahuan tentang kebudayaan Indonesia, sehingga kata kuda dapat diterjemahkan dengan tepat ke dalam bahasa targetnya.
Memang idealnya pengarang dan penerjemah perlu melakukan komunikasi yang memungkinkan keduanya dapat mencapai teks ideal seperti yang dimaksud oleh Walter Benjamin sebagai Reine Sprache (bahasa Murni). Seperti yang diungkapkan oleh Eco (2004) saya tidak akan pernah bisa berkolaborasi penuh pada penerjemah berbahasa Jepang atas karya saya (meskipun saya sudah berusaha). Hal tersebut terjadi karena sebagai pengarang Eco merasa sulit memahami cara berpikir orang Jepang yang nantinya menjadi target penerjemahan bukunya.
Kasus paling menarik dari fenomena penerjemahan ialah bagaimana menerjemahkan War and Peace karya Leo Tolstoy ke dalam bahasa Prancis. Novel tersebut ditulis dalam bahasa Rusia, kecuali pada bagian awalnya, ditulis dalam bahasa Prancis. Apakah bagian yang merupakan percakapan panjang itu juga harus diterjemahkan? Yang bisa berarti dibiarkan apa adanya? Jika keputusannya membiarkan bagian awal itu tetap berbahasa Prancis, maka pembaca berbahasa Prancis akan kehilangan kesempatan memahami bahwa percakapan berbahasa Prancis dalam novel itu yang sebenarnya membicarakan hal-hal remeh merupakan identitas kebangsawanan di Rusia pada masa kekuasaan Napoleon. Para bangsawan Rusia pada masa tersebut cenderung mengidentifikasi diri dengan berbahasa Prancis dalam percakapan sehari-hari.
Dalam kasus novel Max Havelaar yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia oleh H.B. Jassin, proses terjemahannya jelas dilakukan tanpa melibatkan sang pengarang, karena Eduard telah wafat 85 tahun sebelumnya. Sulit untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh H.B. Jassin pada saat menerjemahkan Max Havelaar. Penelusuran atas tulisan-tulisan yang telah dibuat mengenai novel Max Havelaar belum berhasil memberikan petunjuk mengenai topik tersebut.
Sebagai pembaca berbahasa Indonesia, saya tidak bisa menikmati Max Havelaar seperti terjemahan The Name of The Rose karya Umberto Eco, The Lover karya Marguerite Duras, Imperium karya Robert Harris, The Alchemist karya Paulo Coelho, The Thorn Birds karya Collen McCullough, Love Story karya Erich Segal, The Pillars of the Earth karya Ken Follett, Missage in a Bottle karya Nicholas Spark, dan bahkan nuansa Inggris klasik masih dapat saya nikmati pada novel The Shell Seekers karya Rosamunde Pilcher. Bahkan membaca terjemahan A Beautiful Mind, sebuah biografi tentang seorang pemenang nobel matematika yang menderita skizofrenia, ditulis oleh Sylvia Nasar, lebih memberikan kenikmatan naratif dibandingkan dengan tulisan Multatuli yang memang dimaksudkan sebagai karya naratif. Tidak semua karya-karya di atas merupakan hasil kerja tim penerjemah, beberapa di antaranya merupakan hasil kerja penerjemah tunggal. Berdasarkan kenyataan itu, baik tidaknya sebuah terjemahan, nampak tidak terlalu dipengaruhi oleh seberapa banyak penerjemah yang menanganinya.
Jika terjemahan Max Havelaar yang tidak memberikan kenikmatan bahasa sastra tersebut dituduhkan sebagai ketidakberhasilan penerjemahan, maka H.B. Jassin, orang yang menerjemahkan roman itu, dan disebut-sebut sebagai paus kesastraan Indonesia, merupakan sosok paling bertanggung jawab atas kegagalan membawa kekuatan sastra roman Multatuli ke permukaan. Tetapi faktanya, sebagai penerjemah Max Havelaar, H.B. Jassin telah menerima penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard atas terjemahannya. Hermann Hesse juga tidak menyebutkan keunggulan gaya bahasa sebagai alasan memasukkan roman Max Havelaar ke dalam deretan buku bacaan yang sangat dikaguminya. Gaya bahasa prosa yang belum matang merupakan sisi prosais yang belum dicapai oleh novel Max Havelaar. Jakobson menjelaskan bahwa karya satra merupakan tindak kekerasan teratur terhadap ujaran biasa (Eagleton, 2006). Gaya bahasa memang bukan satu-satunya kriteria untuk menganggap sebuah karya sastra bermutu atau tidak, tetapi mengabaikannya menyebabkan karya yang lahir sebagai produk sastra merupakan media yang sanggup menyiksa pembacanya karena dipaksa menemukan keunggulan dalam struktur cerita tanpa menikmati perjalanan dalam usaha menemukan itu.